SIAPA WALI ANAK PEREMPUAN HASIL ZINA
Pertanyaan:
Assalamualaikum
ustadz, Ana mau tanya tentang anak
perempuan hasil zina dan akan menikah, siapa yang berhak menjadi walinya? Mohon
dijelaskan dgn detail ya ustadz. Jazakallah.
Jawaban:
Wa’alaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh!
Segala puji
bagi Allah Rabb semesta alam, Semoga Allah merahmati akhi yang bertanya dan
kita semuanya, amin ya rabbal ‘alamin.
Anak
perempuan hasil zina kemudian ia ingin menikah maka yang berhak menjadi walinya
adalah hakim, karena ia termasuk wanita yang tidak memiliki wali. Dan wanita
yang tidak memiliki wali maka walinya adalah hakim
Adapun dalil bahwa wali bagi anak zina adalah sulthan yaitu hadits Rasulullah
Shollalahu ‘Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ
سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ
بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ « فَإِنْ
دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا
فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ ».
Artinya: “Penguasa adalah wali nikah bagi
perempuan yang tidak memiliki wali nikah” (HR Abu Daud no 2083 dan dinilai
shahih oleh al Albani).
As-Syaikh ibnu
‘Usaimin rahimahullahu berkata dalam As-Syarhul Mufti bahwa yang dimaksud
dengan Sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya.
Dan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam Juga Bersabda:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ
عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ
بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ
لاَ وَلِىَّ لَهُ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Artinya: “Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya
maka pernikahannya batil dan bila laki-laki itu telah menggauilinya maka ia
berhak mendapat mahar sebagai ganti atas hubungan yang telah dilakukan oleh
lelaki itu dengan dirinya dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya
maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” (HR At-Tirmidzi,
dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim)
As-Shan’ani
berkata dalam Subulus Salam : hadis ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali
bagi seorang wanita yang tidak mempunyai wali dalam pernikahan, baik karena
memang tidak ada walinya atau walinya ada tetapi tidak mau menikahkannya.
Maka anak hasil
zina adalah termasuk dalam perempuan yang tidak mempunyai wali karena anak
tersebut tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya sehingga nasabnya tersebut hanya
dibangsakan kepada ibu.
Dan Untuk
lebih jelasnya pembahasan ini, silakan simak uraian dan penjelasan kami akan dibawah
ini:
Pertama:
Nasab anak hasil zina adalah kepada ibunya, maka laki-laki yang berzina tidak memiliki hak
apa-apa pun terhadap hak nasab
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam Bersabda:
وَحَدَّثَنِى
مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ - قَالَ ابْنُ رَافِعٍ -
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنِ ابْنِ
الْمُسَيَّبِ وَأَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- قَالَ: « الْوَلَدُ
لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ».
Artinya:
“Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang
menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam
sampai mati)”. (HR Bukhari no
6760 Dari Abu hurairah dan juga dari Aisyah dan Muslim no 1457 dari Abu
hurairah).
Berdasarkan hadits diatas maka laki-laki yang
berzina tidak memiliki hak apa-apa pun terhadap hak nasab, anak yang lahir dari
hasil perzinahan tidak di nasabkan kepada bapak biologisnya namun kepada
ibunya.
Kedua: Seorang Wanita Haram Hukumnya Menikah Tanpa Wali, Dan Yang Menikah
Tanpa Wali Maka Batal Nikahnya.
Pernikahan yang dialakukan tanpa wali wali maka batal, dalilnya
adalah sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 32
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S An-Nur ayat 32)
2.
Al-Qur’an Surat Al- Baqarah ayat 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Artinya:
“Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. (Q.S Al- Baqarah ayat 221)
3.
Al-Qur’an Surat Al- Baqarah ayat 232
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ
يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ
يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,
apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah
yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah
dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S Al-Baqarah ayat 232)
Imam Syafi’i
mencatat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus Ma’qal bin Yasir yang
menolak menikahkan saudarinya dengan seorang pria idamannya.
4.
Rasulullah Sholllahu Alaihi Wasallam
Bersabda:
أَخْبَرَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِى عَمْرٍو قَالاَ
حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ
بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ سَلَمَةَ
بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ سُوَيْدٍ يَعْنِى ابْنَ مُقَرِّنٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ عَلِىٍّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ
بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِإِذْنِ
وَلِىٍّ.)رواه البيهقي في سننه الكبرى ج 7/ ص 111 حديث رقم: 13419 ( هَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ.
Artinya: “Siapa
saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil” (HR.
Baihaqi dalam sunan kubranya )
5.
Terdapat asar Umar Bin Khattob radhiyallah
‘anhu yang menolak perkawinan tanpa wali yaitu ;
وأخبرنا أبو
زكريا ثنا أبو العباس أنبأ الربيع أنبأ الشافعي أنبأ بن عيينة عن عمرو بن دينار عن
عبد الرحمن بن معبد بن عمير أن عمر رضي
الله عنه رد نكاح امرأة نكحت بغير ولي )سنن البيهقي الكبرى:ج7/ص111 ح13416 و مسند الشافعي:ج1/ص290
Artinya:
“Bahwasanya Umar bin Khatab menolak/membatalkan pernikahan seorang wanita yang
menikah tanpa adanya wali”
Semua dalil-dalil diatas adalah dalil keharusan adanya wali dalam pernikahan.
Begitupun bagi anak zina yang ingin menikah maka ia harus memiliki wali dalam pernikahanya,
karena wali adalah merupakan salah satu rukun nikah, apabila tidak ada maka batallah
pernikahan.
Ketiga: Seorang Wanita Tidak Boleh Menjadi Wali Dalam Pernikahan
Ketika anak hasil zina dinasabkan kepada pihak ibu bukan berarti
hal ini membenarkan bahwa ibu bisa menjadi wali terhadap anak perempuan
tersebut. Karena semua wali itu hanya dari laki-laki. Dalilnya adalah:
حَدَّثَنَا جَمِيلُ بْنُ الْحَسَنِ الْعَتَكِيُّ ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مَرْوَانَ الْعُقَيْلِيُّ ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ ،
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ ، وَلاَ
تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا ، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ
نَفْسَهَا.
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata : Rasulullah SAW
bersabda, Wanita itu tidak sah menikahkan wanita lain dan tidak sah pula
menikahkan dirinya”. (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni, dan ini adalah lafadznya
ibnu majah)
Ke Empat: ‘Ashabah Dari Pihak Ibu Tidak Bisa Menjadi Wali Terhadap Anak
Perempuan Hasil Zina
Tidak bisa wali dari pihak ibu menjadi wali terhadap anak perempuan
hasil zina artinya ‘ashabah dari pihak ibu tidak bisa menjadi wali terhadap
anak perempuan tersebut walaupun ‘ashabah ibunya itu merupakan ‘ashabah anak
itu.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam
Al-Mughni bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal
waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan
nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.
Sehingga hal ini menunjukkan bahwa anak yang lahir dari hubungan di luar nikah
tersebut dianggap tidak mempunyai wali sehingga wali hakimlah yang akan menjadi
walinya.
Ke Lima: Bapak biologis ini tidak diperbolehkan
menikahi anak hasil zinanya
Menurut pendapat mayoritas ulama bahwa bapak
biologis tidak diperbolehkan menikahi anak hasil zinanya dan inilah pendapat
yang benar, yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Dalilnya
adalah
1.
Karena anak itu adalah putrinya secara hukum
kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya
sendiri.
2.
Seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak
susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan
sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan
seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air
maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan
haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’,
5/170)
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara
keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
a. Keduanya
tidak saling mewarisi.
b. Lelaki
tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
c. Lelaki
tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki
tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah)
suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak
itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya (anak tiri) dlm syariat sehingga
menjadi mahram.
d. Lelaki
tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).
Istifadah:
1.
Didalam masalah
Laki-laki dan perempuan berzina kemudian hamil maka ada tiga keadaan:
Pertama:
Laki-laki dan perempuan berzina kemudian hamil dan mereka tidak menjadi suami istri selama-lamanya.
Kedua : Laki-laki dan perempuan berzina kemudian
mereka menikah, baik itu ketika hamil atau setelah melahirkan
Jika seorang
lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud
menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak
tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak
tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur
(mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul
Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad
wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa
mereka (20/387-389).
Ketiga : Laki-laki dan perempuan berzina kemudian hamil tapi dinikahi oleh laki-laki lain.hal Ini perincianya adalah sebagai berikut:
1.
Jika
dilahirkan lebih dari enam bulan setelah akad nikahnya (hubungan badan), maka ada dua keadaan :
-
Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami,
karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke
suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris, wali nikah
dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau
meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya).
-
Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya
seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan,
maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan
meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini
untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.
2.
Jika dilahirkan kurang dari enam bulan
setelah akad nikahnya (hubungan badan), maka anak tersebut tidak bisa
dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya.
Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang
mendukung hubungan nasab.
Ini berlaku bagi anak yang
dilahirkan laki-laki ataupun perempuan. Berarti bapak sebagai wali
dalam menikahkan anak perempuannya jika diakui nasabnya dan hakim sebagai
walinya jika tidak diakui nasabnya.
Perlu diperhatikan, walaupun status anak tidak
bisa dinisbatkan kepada suami, tetap dinyatakan mahram baginya
dikarenakan dia menjadi suami ibunya yang melahirkannya (bapak tiri) jika telah
berhubungan badan dengan ibu yang melahirkannya.
(Silakan rujuk Kitab Bughyatul Mustarsyidin hal
235-236)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar