Haram hukumnya
menggunakan pel atau obat ramuan untuk mencegah haid datang pada waktunya. atau
untuk terlambat haid. dalil keharamanya adalah:
Pertama: Menyalahi ketentuan Allah. haid merupakan kelaziman
bagi wanita dewasa yang normal, dan sudah menjadi ketentuan Allah, dtang sesuai
dengan yang telah ditentukan Allah, maka jika ada yang sengaja menjadikanya
terlambat dari kebiasaan waktu datangnya, sungguh ia telah menyalahi qodrat
allah Azza wajalla, rasulullanh shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وَحَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ
عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى
الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ
وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ
الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. رواه
البخاري ( 315 ( ومسلم ( 335 (
kedua: Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah
menyuruh para istrinya atau para istri orang-orang yang beriman untuk meminum
obat terlambat haid ketika ibadah-ibadah penting, seperti haji atau puasa.
bahkan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan pad mereka bahwa itu
termasuk sunnatullah untuk kaum hawa, dan bagi merka yang datang haid atau
nifas, diberi keringanan khusus dalam beribadah. seperi tidak bolehnya sholat
dan puasa, juga tawaf. seperi yang dijelaskan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi
Wasallam dalam haditsnya:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ ، عَنِ
الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : خَرَجْنَا مَعَ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : لاَ نَذْكُرُ إِلاَّ الْحَجَّ فَلَمَّا جِئْنَا
سَرِفَ طَمِثْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا أَبْكِي
فَقَالَ مَا يُبْكِيكِ قُلْتُ لَوَدِدْتُ وَاللَّهِ أَنِّي لَمْ أَحُجَّ الْعَامَ
قَالَ لَعَلَّكِ نُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ ذَلِكَ شَيْءٌ كَتَبَهُ
اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ
تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي.
Artinya: “Kami keluar (dari Madinah), tidak ada yang kami tuju kecuali
untuk berhaji. Maka ketika kami berada di tempat yang bernama Sarif, aku haid.
Rasulullah SAW masuk menemuiku yang ketika itu sedang menangis. Maka beliau
bersabda : ‘Ada apa denganmu, apakah engkau ditimpa haid?’ Aku menjawab : ‘Ya.’
Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang Allah tetapkan
atas anak-anak perempuan keturunan adam. Kerjakanlah sebagaimana layaknya orang
berhaji. Akan tetapi, janganlah engkau melakukan thawaf di Baitullah.’ (HR.
Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
Ketiga: menimbulkan mudhotar bagi kesehatan wanita itu
sendiri. dijelaskan oleh para ulama kedokteran bahwa minum obat terlambat haid
bias menimbulkan gangguan didalam kesehatan wanita itu. maka hal ini jelas
dilarang oleh Rasulullah shollallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ ، عَنْ
عِكْرِمَةَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله
عَليْهِ وسَلَّمَ : لاَ ضَرَرَ وَلاَ إِضْرَارَ.([1])
Hadits ini menunjukkan bahwa semua
bentuk perbuatan yang membahayakan harus dihilangkan dan tidak boleh di
kerjakan, karena Rosululloh mengungkapkannya dengan bentuk penafian, yang
mencakup semua bentuk perbuatan yang membahayakan. (Lihat Al Wajiz
hal : 252)
“Hadits ini mencakup semua bentuk
perbuatan yang membahayakan, karena kalimat dengan bentuk nakiroh kalau jatuh
setelah lafadl penafian menunjukkan keumuman.” (Lihat Faidlul Qodir
6/431)
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita
yang mendapatkan haid di bulan yang mulia ini, tepatnya sejak tanggal dua lima
Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan, jika saya mendapatkan haid maka saya akan
kehilangan pahala yang amat besar, apakah saya harus menelan pil pencegah haid
karena saya telah bertanya kepada dokter lalu ia menyatakan bahwa pil pencegah
haid itu tidak membahayakan diri saya?
Beliau menjawab: “Saya
katakan kepada wanita-wanita ini dan wanita-wanita lainnya yang mendapatkan
haid di bulan Ramadhan, bahwa haid yang mereka alami itu, walaupun pengaruh
dari haid itu mengharuskannya meninggalkan shalat, membaca Al-Qur’an dan
ibadah-ibadah lainnya, adalah merupakan ketetapan Allah, maka hendaknya kaum
wanita bersabar dalam menerima hal itu semua, maka dari itu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haid : “Artinya :
Sesungguhnya haid itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada kaum
wanita”. Maka kepada wanita ini kami katakan, bahwa haid yang dialami oleh
dirinya adalah suatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita, maka hendaklah
wanita itu bersabar dan janganlah menjerumuskan dirinya ke dalan bahaya, sebab
kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang dokter yang menyatakan bahwa
pil-pil pencegah kehamilan berpengaruh buruk pada kesehatan dan rahim
penggunanya, bahkan kemungkinan pil-pil tersebut akan memperburuk kondisi janin
wanita hamil.”
([1]) Ibnu Majah no 2341, Baihaqi
10/133, Ahmad 1/313, Daruquthni
4/228, Hakim
2/57 dan beliau mengatakan shohih menurut syarat Imam Bukhori Muslim dan
disepakati oleh Imam Dzahabi, Malik
2/745, Abu
Dawud dalam Marosil hal : 44 dan lainnya dengan sanad hasan
dari jalan beberapa sahabat Rosululloh diantaranya adalah Ubadah
bin Shomith, Ibnu Abbas, Abu
Sa’id al Khudri, Abu Huroiroh, Jabir
bin Abdillah, Aisyah, Tsa’labah
bin Abi Malik al Qurodli dan Abu Lubabah Rodliyallohu anhum
ajma’in. (Lihat Takhrij hadits ini secara lengkap dalam Jami’
Ulum wal Hikam oleh Imam Ibnu Rojab hadits no : 32)
-
Abu
‘Abd Allah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al-Qawini (Ibn Majah) Sunan Ibn
majah, Dar al-Fikr, (Bairut), (tth), Juz VI, h. 88
-
Abu
‘Abd Allah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al-Qawini (Ibn Majah) Sunan Ibn
majah, Dar al-Fikr, (Bairut), (tth), Juz VI, h. 88
-
Abu
‘Abd Allah Ahmad bin Hanbal (Ahmad Bin Hanbal), Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Maktabah
al-Islami, Bairut 1398 H=1978 M, Juz VII, h. 95
-
Mâlik
bin Anas bin Mâlik bin Abi Âmir bin Amru bin Al Harits bin ghailân bin Hasyat
bin Amru bin Harits (Malik), Sunan Imam Malik, Dar al-Fikr, (Bairut),
(tth), Juz VI, h. 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar