Hakikat Hijrah Yaitu Hijrah Dari Maksiat Pada Allah Kepada Menta'atiNya...Ingatlah, Bahwa Maksiat Yang Paling Besar Adalah Syirik, Dan Keta'atan Yang Paling Agung adalah Bertauhid Pada Allah 'Azza Wajalla...Maka Oleh Karena Itu Bertauhidlah Kepada Allah Semata Dan Jauhilah Segala Bentuk Kesyirikan DAURAH QUBRA SEPUTAR 143 Permasalahan Puasa Dan I'tikaf Kontak Person: 085237021944

Jadwal Shalat

Radio Jihad On Line Perhatikan Waktu Shalatmu Saudaraku...Jika Waktu Shalat Tiba, Cari masjid Yang Terdekat Dengan Anda..Tunaikan Segera dan Jangan Di Tunda-tunda!!!

Rabu, 10 Juli 2013

Berapa Lama Diperbolehkan Musafir Untuk Ifthor (Tidak Berpuasa Tetapi menggantinya Dihari Lain)? (025)

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat berbuka puasa, hal ini diungkapkan oleh syekh Wahbah az-Zuhaili didalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu:
PERTAMA: Mazhab Hanafi: (batas maksimal adalah 15 hari)
Tetap boleh shalat Qashar hingga menjadi mukim, tidak boleh qashar shalat jika berniat mukim di suatu negeri selama 15 hari lebih. Jika berniat mukim selama itu, maka mesti shalat normal. Jika berniat kurang daripada itu, maka shalat qashar.([1])

Pendapat ini diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, Said bin Jubair dan Al-Laits bin Sa’ad, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibnu Umar dan sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhum bahwasanya keduanya berkata: “Jika kamu telah sampai (ditempat tujuan) dan dalam dirimu (ada niat) untuk menetap di sana selama lima belas malam maka sempurnakanlah shalat”. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Said ibnul Musayyib.([2])


KEDUA: Mazhab Malik dan Mazhab Syafi’I, Madzhab Hambali: (batas maksimal adalah 4 hari)
Jika orang yang musafir itu berniat menetap empat hari, maka ia shalat secara normal, karena Allah membolehkan shalat Qashar dengan syarat perjalanan. Orang yang mukim dan berniat mukim tidak dianggap melakukan perjalanan. ([3])
-     Mazhab Maliki mengukur kadar mukim tersebut dengan 20 shalat. Jika kurang dari itu, boleh shalat Qashar.
-     Mazhab Maliki dan Syafi’I tidak menghitung hari masuk dan hari keluar, menurut pendapat shahih dalam Mazhab Syafi’I, karena yang pertama adalah hari meletakkan barang-barang dan yang kedua adalah hari keberangkatan, kedua hari tersebut hari kesibukan dalam perjalanan.
Berkata Syaikhuna Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin rahimahullah:
“Pendapat yang rajih (benar dan kuat) adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu bahwasanya musafir adalah tetap musafir selama tidak berniat salah satu dari dua perkara:
1.
Tinggal secara mutlak.
2. Menetap.
Perbedaan keduanya adalah:
Orang yang menetap adalah orang yang berniat menjadikan tempat tersebut sebagai negeri tempat tinggalnya.
Dan orang yang tinggal secara mutlak adalah orang yang datang ke sebuah negeri lalu melihat bahwa kegiatan di negeri tersebut pesat atau menuntut ilmu di sana cukup kuat kemudian ia berniat tinggal secara mutlak tanpa menentukan batasan waktu atau pekerjaan, akan tetapi niatnya ia mukim karena negeri tersebut membuatnya tertarik disebabkan banyaknya ilmu atau pesatnya perniagaan atau karena ia adalah seorang pegawai pemerintah yang ditugaskan sebagai duta besar misalnya, maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya safar, karena ia telah berniat menetap, sehingga kami katakan, ‘hukum safar telah terputus baginya’.
Adapun orang yang membatasi tinggalnya dengan suatu pekerjaan yang akan selesai (maksudnya pekerjaan akan selesai dalam jangka waktu tertentu) atau waktu yang akan selesai (maksudnya waktunya telah ditentukan dan telah diketahui batasnya), maka ini adalah tetap musafir dan tidak terlepas darinya hukum-hukum safar”.

[As-Syarhul Mumti' 'Ala Zaadil Mustaqni', karya Syaikhuna Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, jilid 4 hlm 378].

Yang Rojih adalah apabila seseorang meakukan perjalanan maka selama ia dalam perjalanan itu boleh ifthor atau qashar shalat.
kemudian apabila sudah sampai tujuan, maka:
-     jika ia berniat muqim ditujuannya itu maka boleh ia qashar shalat sampai 4 hari, setelah itu dia harus melakukan shalat seperti biasa, dan tidak boleh lagi ifthor.
-     jika ia belum tau berapa lama ia akan tinggal ditujuanya itu maka boleh baginya untuk mengqashar shalat dan ifthor sampai ia jelas tempat tinggalnya.
dalilnya adalah:
-     Sahabat Jabir radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat.
(HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih).
-     Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat.
(HR. Bukhari dll).


([1])  Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri dan Al-Muzani. Menurut Ibnul Mundzir ini juga pendapat sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma.
([2] ) Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, jilid 3 hlm 148
([3] ) ini disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, jilid 4 halaman 244.
Menurut Al-Imam An-Nawawi ini juga pendapat sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, Said ibnul Musayyib, Imam Malik dan Abu Tsaur.

Related Post



Tidak ada komentar: