Para
ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan
sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat berbuka puasa, hal
ini diungkapkan oleh syekh Wahbah az-Zuhaili didalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu:
PERTAMA: Mazhab Hanafi: (batas maksimal adalah
15 hari)
Tetap boleh shalat Qashar hingga menjadi mukim, tidak boleh qashar
shalat jika berniat mukim di suatu negeri selama 15 hari lebih. Jika berniat
mukim selama itu, maka mesti shalat normal. Jika berniat kurang daripada itu,
maka shalat qashar.([1])
Pendapat
ini diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, Said bin
Jubair dan Al-Laits bin Sa’ad, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari sahabat
Abdullah ibnu Umar dan sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhum bahwasanya
keduanya berkata: “Jika kamu telah sampai (ditempat tujuan) dan dalam dirimu
(ada niat) untuk menetap di sana selama lima belas malam maka sempurnakanlah
shalat”. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Said ibnul Musayyib.([2])
KEDUA: Mazhab Malik dan Mazhab Syafi’I, Madzhab
Hambali: (batas maksimal adalah 4 hari)
Jika orang yang musafir itu berniat
menetap empat hari, maka ia shalat secara normal, karena Allah membolehkan
shalat Qashar dengan syarat perjalanan. Orang yang mukim dan berniat mukim
tidak dianggap melakukan perjalanan. ([3])
-
Mazhab Maliki mengukur kadar mukim
tersebut dengan 20 shalat. Jika kurang dari itu, boleh shalat Qashar.
-
Mazhab Maliki dan Syafi’I tidak
menghitung hari masuk dan hari keluar, menurut pendapat shahih dalam Mazhab
Syafi’I, karena yang pertama adalah hari meletakkan barang-barang dan yang
kedua adalah hari keberangkatan, kedua hari tersebut hari kesibukan dalam
perjalanan.
Berkata Syaikhuna Fadhilatusy
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin rahimahullah:
“Pendapat yang rajih (benar dan kuat) adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu bahwasanya musafir adalah tetap musafir selama tidak berniat salah satu dari dua perkara:
1. Tinggal secara mutlak.
“Pendapat yang rajih (benar dan kuat) adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu bahwasanya musafir adalah tetap musafir selama tidak berniat salah satu dari dua perkara:
1. Tinggal secara mutlak.
2. Menetap.
Perbedaan keduanya adalah:
Orang yang menetap adalah orang yang
berniat menjadikan tempat tersebut sebagai negeri tempat tinggalnya.
Dan orang yang tinggal secara mutlak adalah orang yang datang ke sebuah negeri lalu melihat bahwa kegiatan di negeri tersebut pesat atau menuntut ilmu di sana cukup kuat kemudian ia berniat tinggal secara mutlak tanpa menentukan batasan waktu atau pekerjaan, akan tetapi niatnya ia mukim karena negeri tersebut membuatnya tertarik disebabkan banyaknya ilmu atau pesatnya perniagaan atau karena ia adalah seorang pegawai pemerintah yang ditugaskan sebagai duta besar misalnya, maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya safar, karena ia telah berniat menetap, sehingga kami katakan, ‘hukum safar telah terputus baginya’.
Dan orang yang tinggal secara mutlak adalah orang yang datang ke sebuah negeri lalu melihat bahwa kegiatan di negeri tersebut pesat atau menuntut ilmu di sana cukup kuat kemudian ia berniat tinggal secara mutlak tanpa menentukan batasan waktu atau pekerjaan, akan tetapi niatnya ia mukim karena negeri tersebut membuatnya tertarik disebabkan banyaknya ilmu atau pesatnya perniagaan atau karena ia adalah seorang pegawai pemerintah yang ditugaskan sebagai duta besar misalnya, maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya safar, karena ia telah berniat menetap, sehingga kami katakan, ‘hukum safar telah terputus baginya’.
Adapun orang yang membatasi tinggalnya
dengan suatu pekerjaan yang akan selesai (maksudnya pekerjaan akan selesai
dalam jangka waktu tertentu) atau waktu yang akan selesai (maksudnya waktunya
telah ditentukan dan telah diketahui batasnya), maka ini adalah tetap musafir
dan tidak terlepas darinya hukum-hukum safar”.
[As-Syarhul Mumti' 'Ala Zaadil Mustaqni', karya Syaikhuna Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, jilid 4 hlm 378].
Yang Rojih adalah apabila seseorang
meakukan perjalanan maka selama ia dalam perjalanan itu boleh ifthor atau
qashar shalat.
kemudian apabila sudah sampai tujuan, maka:
-
jika ia berniat muqim ditujuannya itu maka boleh ia
qashar shalat sampai 4 hari, setelah itu dia harus melakukan shalat seperti
biasa, dan tidak boleh lagi ifthor.
-
jika ia belum tau berapa lama ia akan tinggal
ditujuanya itu maka boleh baginya untuk mengqashar shalat dan ifthor sampai ia
jelas tempat tinggalnya.
dalilnya adalah:
-
Sahabat
Jabir radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar
shalat.
(HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih).
(HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih).
-
Sahabat
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari
mengqashar shalat.
(HR. Bukhari dll).
(HR. Bukhari dll).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar