1. Fajar shadiq, yaitu fajar
yang cahayanya memanjang (mendatar). Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam
Bersabda:
لاَ يَغُرَّنكمْ أحَدَكمْ نِدَاءُ بِلاَلٍ مِنَ
السَّحُوْرِ وَلاَ هذا البَيَاضُ حَتَّى يَسْتطِيْرَ. وفي رواية :
هُوَ المُعْتـَرِضُ وَليْسَ بالمُسْتَطِيلِ
Artinya: “Janganlah
adzannya Bilal mencegah kalian dari sahur dan tidak pula cahaya putih ini
sampai mendatar (horisontal). Dalam riwayat yang lain : yaitu cahaya yang
mendatar bukan yang menjulang ke atas.” (H.R Muslim hadits no. 1093)
2. Fajar kadzib, yaitu fajar yang cahayanya naik (vertikal) seperti
ekor serigala. Dengan fajar ini belum masuk waktu shalat Subuh, dan masih
diperbolehkan makan dan minum. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir bin
‘Abdillah dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
حَدَّثَنَاهُ أَبُو
بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَاتِمٍ الدَّارَبَرْدِيِّ ، بِمَرْوَ ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوْحٍ الْمَدَائِنِيُّ ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ
هَارُونَ ، أَنْبَأَ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ ، عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : الْفَجْرُ فَجْرَانِ : فَأَمَّا الْفَجْرُ الَّذِي يَكُونُ كَذَنَبِ
السَّرْحَانِ فَلاَ تَحِلُّ الصَّلاَةُ فِيهِ وَلاَ يَحْرُمُ الطَّعَامُ ،
وَأَمَّا الَّذِي يَذْهَبُ مُسْتَطِيلاً فِي الْأُفُقِ فَإِنَّهُ يُحِلُّ الصَّلاَةَ
، وَيُحَرِّمُ الطَّعَامَ.
“Fajar ada dua macam (pertama), fajar
yang bentuknya seperti ekor serigala maka belum dibolehkan dengannya shalat
(subuh) dan masih dibolehkan makan. Dan (kedua) fajar yang membentang di ufuk
timur adalah fajar yang dibolehkan di dalamnya shalat (subuh) dan diharamkan
makan (sahur).” (HR. Al-Hakim no 687)
Ibnu Katsir
rahimahullah berkata, “Abdurrazzaq berkata, kami diberitahu oleh Juraij bin
Atha, dia berkata, “Aku mendengar Ibnu Abbas berkata, ‘Ada dua fajar. Fajar
yang cahayanya membentang di langit, tidak mengakibatkan penhalalan dan
pengharaman apapun (baik makan maupun minum). Akan tetapi fajar yang terlihat
terang di puncak gunung, itu yang mengharamkan minuman (bagi yang berpuasa).’
Atha berkata, ‘Fajar yang membentang di langit –dan bentangannya itu akan
hilang- maka itu tidak diharamkan minuman bagi yang berpuasa tidak juga shalat,
tidak terlewatkan haji (masih sah wukuf). Akan tetapi kalau yang menyebar di
puncak gunung, diharamkan minuman bagi yang berpuasa dan terlewatkan haji.’
Sanadnya shahih sampai ke Ibnu Abbas dan Atha. Begitu juga yang diriwayatkan
bukan hanya satu dari kalangan ulama salaf rahimahumullah.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 1/516)
Ibnu Qudamah
rahimahullah berkata, “Secara umum, waktu subuh masuk dengan terbitnya fajar
kedua berdasarkan ijma (konsensus para ulama’). Hal itu telah ditunjukkan kabar
penentuan waktu. Yaitu (cahaya) putih meluas dan menyebar di ufuk dinamakan
dengan fajar sadiq. Dikatakan demikian karena membenarkan anda dan menjelaskan
kepada anda tentang subuh. Shubuh itu artinya gabungan antara putih dan
kemerah-merahan. Oleh karena itu kalau seseorang warna kulitnya itu putih dan
kemerah-merahan dinamakan ‘Asbaha’.”
Adapun fajar
pertama, (cahaya) putih yang tipis memanjang bukan membentang dan tidak terkait
dengan hukum, dinamakan fajar kadzib. Kemudian waktu pilihan terus sampai
terlihat siang.” (Al-Mughni, 1/232)
Syekh Ibnu
Utsaimin Rahimahullahu ta'ala berkata didalam As-Syarhu Al-Mumti’, 2/107, 108: “Para ulama menyebutkan bahwa antara fajar
sadiq dan fajar kadzib- terdapat tiga perbedaan;
Pertama : Fajar pertama (kadzib) memanjang, tidak membentang
yakni memanjang dari timur ke barat.
Kedua : Bahwa fajar awal gelap, maksudnya
muncul cahaya dalam waktu singkat namun kemudian gelap. Sedangkan fajar kedua
(sadiq) tidak gelap, bahkan bertambah cahayanya dan semakin terang.
Ketiga : Fajar kedua (sadiq) menyatu dengan ufuk, antara dia
dengan ufuk tidak ada kegelapan. Sementara fajar pertama terputus dari ufuk.
Antara ia dengan ufuk ada kegelapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar