19.
Hukum Niat Dalam Puasa
Niat merupakan rukun bagi
seluruh ibadah, begitupun dalam hal puasa. Tidak akan sah amal seseorang tanpa
didahului dengan niat sebagaimana sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi
wasallam:
حَدَّثَنَا
الحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ
وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَلَى المِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya setiap
amalan itu (syah atau tidaknya) tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan
mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR.Al-Bukhari no 53,
5070 dan Muslim hadits no1907)
Allah subuhanahu wata'ala berfirman:
لَنْ
يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى
مِنْكُمْ
Artinya: Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali
tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang
dapat mencapainya. (Q.S
Al-haj ayat 37)
Allah subuhanahu wata'ala berfirman:
{ وَمَا أُمِرُوا إلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ }
Artinya: Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama". (Q.S Al-bayyinah ayat 5)
Tujuan segala amal adalah untuk mendapatkan
ketaqwaan, dan itu tidak akan bias dicapai kecuali dengan niat, maka niat
termasuk syarat sahnya amal.
Akan tetapi yang perlu
diketahui bahwa Niat dalam semua ibadah, baik wudhu, shalat, puasa, zakat, haji
dan selainnya tidak perlu dilafazhkan.
-
Ibnu
Taimiyah Rahimahullah Berkata,
“Mengucapkan niat secara jahr tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa: 22/218-219).
- Dan dalam beliau berkata juga berkata: “Niat
adalah maksud dan kehendak, sedangkan maksud dan kehendak tempatnya adalah di
hati, bukan di lidah, berdasarkan kesepakatan orang-orang yang berakal.
Walaupun dia berniat dengan hatinya, Maka niatnya syah menurut Imam Empat dan
menurut seluruh imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang belakangan.”
(Majmu’ Al-Fatawa : 22/236-237)
Hanya saja permasalahanya adalah kapan niat
dilakukan? Apakah setelah magrib, dipertengahan malam atau ketika mau sahur,
atau setelah fajar?.
Dalam masalah ini perbedaan pendapat para
ulama:
Petama: niat bisa
dilaksanakan mulai terbenamnya matahari sampai siang hari, maka boleh puasa
kemudian niatnya siang hari. Inilah pendapat abu hanifah rahimahullah.
Al-kaassa'I berkata: sekalipun puasa ramadhon,
atau puasa sunnah lainya, atau puasa nadzar. Yaitu boleh mengucapkan niat
setelah terbitnya fajar. ([1])
Kelompok ini berdalil dengan hadits Rasulullah
Shollalahu 'Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي
عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا يُنَادِي فِي النَّاسِ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ إِنَّ مَنْ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ أَوْ فَلْيَصُمْ وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ
فَلَا يَأْكُل
Artinya : nabi shollallahu 'alaihi wasallam mengutus
seorang laki-laki dari sahabatnya untuk menyeru manusia ketika hari 'asyura'
"Sesungguhnya siapa yang telah makan maka silakan sempurnakan atau
berpuasalah, dan barang siapa yang belum makan maka janganlah makan ([2])
Dilihat dari dalil yang mereka ajukan disini, dapatlah
kita ketahui bahwa puasa as-yura' menurut mereka adalah hukumnya wajib.
Imam nawawi membantah pendapat kelompok ini. Beliau
berkata bahwa puasa asyura' hukumnya sunnah. Inilah yang kuat yaitu bukan
wajib, dan inilah pendapat syafi'iyyah yang shohih" (al-majmu' 6/301)
Imam Nawawi berdalil dengan hadits Rasulullah
Shollallahu 'Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ رضى
الله عنهما - يَوْمَ عَاشُورَاءَ عَامَ حَجَّ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ يَا
أَهْلَ الْمَدِينَةِ ، أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « هَذَا يَوْمُ
عَاشُورَاءَ ، وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ ، وَأَنَا صَائِمٌ ، فَمَنْ
شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ »
Artinya: Sekarang adalah hari asyura', dan
kalian tidak diwajibkan puasa didalanya, dan saya berpuasa, maka barang siapa
yang ingin puasa silakan, dan yang ingin berbuka juga silakan. (H.R Bukhari no
2003, Muslim No 1129)
Imam nawawi berkata: Hadits di atas menunjukkan
bahwa puasa asyura' adalah sunnah.
Akan tetapi yang benar adalah bahwa puasa
asyura' hukumnya wajib kemudian dinasakh oleh wajibnya Puasa Ramadhon,
berdasarkan Hadits Rasulullah Sholllallahu 'Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، قَالَ : أَخْبَرَنِي
عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ
فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَر
Artinya: Rasulullah Shollalahu Alaihi Wasallam memerintahkan
untuk puasa asyura', maka ketika diwajibkan puasa ramadhan maka barang siapa
yang ingin puasa asyura' silakan, dan yang ingin berbuka juga silakan. (H.R
Bukhari no 2001, Muslim No 1125)
Ibnu
hajar berkata: setelah dikumpulkan semua dalil maka puasa asyura' pertama
kalinya adalah wajib dikarenakan kuatnya dalil untuk puasa didalamnya, kemudian
dita'kidkan dengan kalimat perintah, kemudian dikuatkan lagi dengan himbauan
secara umum, kemudian dikuatkan lagi dengan tidak boleh makan disiang harinya,
kemudian dikuatkan lagi oleh perintah untuk para ummahat untuk tidak menyususi
anak2 didalamnya, dan dikuatkan lagi perkataan ibnu mas'ud didalam shohih
bukhari : tatkala diwajibkan puasa ramadhon, maka ditinggalkan puasa 'asyura',
maklum bahwa ditinggalkan adalah wajibnya, bukan mustahabbunnya". (lihat
fathul bari 4/247, zadul ma'ad 2/67-77)
Kedua: imam ahmad, imam malik, imam syafi'I, ishaq,
daud adz-zohiry dan
jumhur
ulama salaf berkata: tidak sah puasa seseorang yang dimalam harinya yang tidak
berniat. ([3])
Kelompok ini berdalil dengan hadits Rasulullah
Shollallahu 'Alaihi Wasallam:
أَخْبَرَنَا
أَحْمَدُ بْنُ الأَزْهَرِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، عَنِ ابْنِ
جُرَيْجٍ ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ ، عَنْ سَالِمٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنْ
حَفْصَةَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ لَمْ
يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.
Artinya: dari ibnu umar dari hafsah
sesuangghunya Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: barang siap yang berniat puasa
dimalam harinya maka tidak ada puasa baginya([4])
Hadits ini berlaku untuk puasa wajib, adapun
puasa sunnah maka boleh niat disiang hari atau setelah fajar([5]),
sebagaimana sabda Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam
Ibnu
qudamah berkata: tidak sah puasa seseorang tanpa niat, ini adalah ijma'. Baik
itu puasa sunnah ataupun puasa wajib karena yang akan membedakan antara ibadah
yang satu dengan yang lainya adalah niat seprti shalat kemudian puasa, apakah
itu puasa sunnah atau ramadhan atau nadzar? Dan nadzar disyaratkan niat dimalam
hari. Ini menurut imamuna (imam ahmad), imam malik dan imam syafi'I (lihat
al-mughni 4/ 333)
Ibnu hajar berkata dalam fathul barri 4/142: perbedaan
ulama apakah hadits ini mauquf atau marfu'?. Imam tirmidzi dan nasa'I
merojihkan bahwa hadits ini adalah mauquf.
Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu Hazm Berkata: Hadits
ini adalah shohih
Imam Ahmad didalam
Musnadnya 6/287, meriwayatkan dengan lafadz
((من
لم يجمع...))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar