Hakikat Hijrah Yaitu Hijrah Dari Maksiat Pada Allah Kepada Menta'atiNya...Ingatlah, Bahwa Maksiat Yang Paling Besar Adalah Syirik, Dan Keta'atan Yang Paling Agung adalah Bertauhid Pada Allah 'Azza Wajalla...Maka Oleh Karena Itu Bertauhidlah Kepada Allah Semata Dan Jauhilah Segala Bentuk Kesyirikan DAURAH QUBRA SEPUTAR 143 Permasalahan Puasa Dan I'tikaf Kontak Person: 085237021944

Jadwal Shalat

Radio Jihad On Line Perhatikan Waktu Shalatmu Saudaraku...Jika Waktu Shalat Tiba, Cari masjid Yang Terdekat Dengan Anda..Tunaikan Segera dan Jangan Di Tunda-tunda!!!

Minggu, 21 April 2013

Menciptakan Generasi Tangguh Dengan Mengaplikasikan Aqidah Wala’ Dan Bara’


Definisi al-wala' wal bara'
            Wala' adalah kata mashdar dari fi'il "waliya" yang artinya dekat. Yang dimaksud dengan wala' di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai mereka, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat tinggal bersama mereka.
Sedangkan bara' adalah mashdar dari bara'ah yang berarti memutus atau memotong. Maksudnya di sini ialah memutus hubungan atau ikatan hati dengan orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.


Kedudukan Al-Wala' Wal Bara' Dalam Islam


Di antara hak tauhid adalah mencintai ahlinya yaitu para muwahhidin, serta memutuskan hubungan dengan para musuhnya yaitu kaum musyrikin. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang-siapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beri-man menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." (Al-Maidah: 55-56)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka men-jadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al-Maidah: 51)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia ..." (Al-Mumtahanah: 1)
"Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pe-lindung bagi sebagian yang lain." (Al-Anfal: 73)

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka." (Al-Mujadilah: 22)
Dari ayat-ayat di atas jelaslah tentang wajibnya loyalitas kepada orang-orang mukmin, dan memusuhi orang-orang kafir; serta kewajiban menjelaskan bahwa loyal kepada sesama umat Islam adalah ke-bajikan yang amat besar, dan loyal kepada orang kafir adalah bahaya besar.

Kedudukan al-wala' wal bara' dalam Islam sangatlah tinggi, karena dialah tali iman yang paling kuat. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam: "Tali iman paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." (HR. Ibnu Jarir)

Dan dengan al-wala' wal bara'-lah kewalian Allah dapat tergapai. Diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu: "Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi wala' karena Allah dan memusuhi karena Allah maka sesungguhnya dapat diperoleh kewalian Allah hanya dengan itu. Dan seorang hamba itu tidak akan merasakan lezatnya iman, sekali pun banyak shalat dan puasanya, sehingga ia melakukan hal tersebut. Dan telah menjadi umum persaudaraan manusia berdasarkan kepentingan duniawi, yang demikian itu tidaklah bermanfaat sedikit pun bagi para pelakunya." (HR. Thabrani dalam Al-Kabir)

Urgensi wala' dan bara'
Al-Wala' dan al-bara' atau cinta karena Allah dan benci karena Allah termasuk ikatan Iman yang paling kokoh. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ: الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
Tali keimanan yang paling kokoh adalah berloyal karena Allah dan memusuhi karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 11.537 dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas dan Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1.728)
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيْمَانُ
"Siapa yang cinta karena Allah, benci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan pemberian karena Allah benar-benar telah menyempurnakan imannya." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh al-Albani)
"Siapa yang cinta karena Allah, benci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan pemberian karena Allah benar-benar telah menyempurnakan imannya." al-Hadits
Dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang lain, "seseorang bersama siapa yang dicintainya." (HR. Bukhari dan Muslim)
اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ
"Seseorang berada di atas agama kekasihnya." (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tiga hal jika ada dalam diri seseorang, ia akan merasakan manisnya iman; apabila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan benci kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana bencinya jika dilempar ke dalam api neraka." (HR. Muslim)
Ibnu Abbas rahimahullah berkata, "siapa yang mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, loyal (membela) karena Allah dan memusuhi karena Allah, telah mendapatkan wilayah (perwalian) dari Allah dengan itu. Dan seseorang tak akan mendapatkan manisnya iman sehingga bersikap seperti itu walaupun shalat dan puasanya banyak."
Apa Makna loyalitas (muwalah)? Kepada siapakah Allah perintahkan kita memberikan loyalitas? Dan kepada siapa pula Allah perintahkan untuk memberikan sikap bara' (benci dan permusuhan)?
Makna muwalah (berloyalitas) sebagaimana yang disebutkan dalam Lisanul 'Arab, adalah mencintai, menolong, mengikuti, memberi, dan membantu. Berloyalitas itu lawan dari bermusuhan.
Berikut ini beberapa makna loyalitas:
Allah memerintahkan kita untuk memberikan loyalitas kepada orang beriman dalam firman-Nya,
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." (QS. Al-Maidah: 55-56)
Allah memerintahkan untuk memberikan loyalitas kepada orang beriman dan menghususkan hal itu untuk mereka, Allah berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, . ." (QS. At-Taubah: 71)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "seorang muslim itu saudara muslim lainnya tidak boleh mendzalimi dan menyerahkannya kepada musuh." (Muttafaq 'Alaih) Allah hanya menghususkan ukhuwah (persaudaraan) kepada orang Islam saja.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "sesunguhnya wali-ku adalah Allah dan orang mukmin yang shalih." (HR. Bukhari)
Firman Allah, "artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu." (QS. Al-Mumtahanah: 1)
Allah dan Rasul-Nya menyuruh untuk memberikan loyalitas kepada kaum mukminin. Tidak boleh menyimpangkan makna muwalah (loyaitas) dari makna mencintai, menolong, mengikuti, dan menasihati kecuali kepada orang beriman. Dalam ayat tersebut Allah melarang memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir, memerintahkan agar membenci mereka, berlepas diri dari mereka, kekufuran dan permusuhan mereka terhadap Allah, Rabb semesta alam.
Allah berfirman, 
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)." (QS. Ali Imran 28)
Allah mengabarkan bahwa seseorang yang loyal kepada orang-orang kafir, Dia berlepas diri darinya karena ia meninggalkan loyalitas kepada orang beriman. Tidak akan bersatu dua hal yang bertentangan.
Allah berfirman, "artinya: Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka." (QS. Al-Mujadilah: 22).
Allah mengabarkan bahwa seseorang yang loyal kepada orang-orang kafir, Dia berlepas diri darinya karena ia meninggalkan loyalitas kepada orang beriman. Tidak akan bersatu dua hal yang bertentangan.
Allah memberitahukan bahwa iman kepada Allah dan hari akhir dan cinta kepada orang kafir tidak akan terkumpul dalam hati seorang mukmin.
Allah memerintahkan kita untuk mengikuti jejak Nabi Ibrahim dalam firman-Nya,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Dalam ayat itu Allah lebih mendahulukan sikap bara' (berlepas diri) dari orang kafir yang menyembah selain Allah daripada berlepas diri dari sesembahan mereka selain Allah. Karena terkadang seseorang berlepas diri dari setiap yang diibadahi selain Allah namun tidak berlepas diri dari orang yang menyembahnya.
Allah lebih mendahulukan sikap bara' (berlepas diri) dari orang kafir yang menyembah selain Allah daripada berlepas diri dari sesembahan mereka selain Allah.
Karena terkadang seseorang berlepas diri dari setiap yang diibadahi selain Allah namun tidak berlepas diri dari orang yang menyembahnya.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ  إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ  وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku". Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.i"(QS. Az-zukhruf : 26-28)
Makna وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ adalah La Ilaha Illallah yang maknanya berwala' kepada Allah dan kaum mukminin serta bara' dari orang kafir dan yang mereka sembah (yang mereka tuhankan).
Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." (QS. Al-Miadah: 51)
Allah melarang kaum mukminin berloyal kepada orang Yahudi dan Nashrani  dan menerangkan kepada mereka haramnya hal itu. Dan Allah memberitahukan, siapa yang mencintai mereka dia termasuk golongan mereka.
Allah juga menerangkan, memberikan loyalitas (kecintaan dan pembelaan) kepada kaum kafir mejadi sebab dilaknatnya umat terdahulu. Hal ini sebagai peringatan agar kita tidak terjerumus sebagaimana terjerumusnya mereka sehingga kemurkaan Allah yang menimpa mereka dahulu juga akan menimpa kita.
Allah berfirman, "Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan." (QS. Al-Maidah: 78-80).
Dari Amru bin al-'Ash berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda dengan terang-terangan, "Sesunguhnya keluarga bapakku bukan waliku. Sesunguhnya waliku adalah Allah dan orang beriman yang shalih. Tetapi mereka memiliki hubungan rahim, yang akan aku sambung hubungan dengannya." (HR. Bukhari)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berlepas diri dari keluarganya karena mereka kafir dan meniadakan perwalian dengan mereka.
Inilah sebagian nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah yang menerangkan wajibnya mencintai dan membela kaum mukminin serta berlepas diri, membenci, dan memusuhi orang kafir dan sesembahan-sesembahan mereka.
Ini bagian dasar dari ajaran Islam yang sangat jelas, hanya saja ada beberapa syuhbat yang dihembuskan oleh musuh-musuh Islam dan kaum munafikin yang menjalankan proyeknya orang kafir untuk menyimpangkan pemahaman Islam yang shahih dan aqidah Islam dalam diri umat Islam.



Menyayangi Dan Memusuhi Para Ahli Maksiat

Penjelasan di atas adalah tentang pemberian wala' kepada sesama mukmin sejati dan permusuhan kepada kafir sejati. Adapun golongan ketiga yaitu orang mukmin yang banyak melakukan dosa besar, pada dirinya terdapat iman dan kefasikan, atau iman dan kufur kecil yang tidak sampai pada tingkat murtad. Bagaimana hukumnya dalam hal ini?!
Jawabannya adalah bahwa orang itu terdapat hak muwalah (diberi wala') dan mu'adah (dimusuhi). Dia disayangi karena imannya, dan dimusuhi karena kemaksiatannya dengan tetap memberikan nasihat untuknya; memerintahnya pada kebaikan, melarangnya dari kemung-karan dan mengucilkannya bilamana pengucilan itu memang membu-atnya jera dan malu.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Apabila berkumpul pada diri seseorang kebaikan dan kejahatan, ketakutan dan kemaksiatan, atau sunnah dan bid'ah, maka dia berhak mendapatkan permusuhan dan siksa sesuai dengan kadar kejahatan yang ada padanya. Maka berkumpullah pada diri orang tersebut hal-hal yang mewajibkan pemuliaan dan mengharuskan penghinaan.

Maka dia berhak mendapatkan ini dan itu. Seperti pencuri miskin; dia dipotong tangannya karena mencuri, lalu ia diberi harta dari baitul mal yang bisa mencukupinya. Inilah hukum asal yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah, berbeda dengan Khawarij, Mu'tazilah dan orang-orang yang sepaham dengan mereka. Mereka hanya mengelompokkan manusia dalam dua golongan: orang-orang yang dapat pahala saja atau mendapat siksa saja." Ini sangatlah jelas bagi masalah yang sangat penting ini.


A. Hukum Menyambut dan Bergembira dengan Hari Raya Mereka
Sesungguhnya di antara konsekuensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi syi'ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi'ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.

Ada seorang lelaki yang datang kepada baginda Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menyatakan kepadanya; "Apakah di sana ada berhala dari berhala-hala orang Jahiliyah yang disembah?" Dia menjawab, "Tidak". Beliau bertanya, "Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari-hari raya mereka?" Dia menjawab, "Tidak". Maka Nabi bersabda, "Tepatilah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam." (HR. Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menunjukkan, tidak boleh menyembelih untuk Allah di tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi'ar-syi'ar mereka atau menjadi wasilah yang menghantar-kan kepada syirik.

Begitupula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala' kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi'ar-syi'ar mereka. Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka.

Dan di antaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para sahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan: Pertama: Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti Ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiasaan salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka.

Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketepatan semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari'atkan adalah menyelisihinya telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apa pun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.

Kedua: karena hal itu adalah bid'ah yang diada-adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu." Beliau juga mengatakan, "Tidak halal bagi kaum muslimin ber-tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka; seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah atau pun yang lain-nya.

Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak atau pun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.

Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi'ar mereka pada hari itu. Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh.

Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi'ar-syi'ar kekufuran.

Segolongan ulama mengatakan, "Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi." Abdullah bin Amr bin Ash berkata, "Siapa yang mengikuti negara-negara 'ajam (non-Islam) dan melakukan perayaan Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat."

B. Hukum Ikut Merayakan Pesta, Walimah, Hari Bahagia atau Hari Duka Mereka Dengan Hal-hal yang Mubah serta Ber-ta'ziyah pada Musibah Mereka.
Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahni'ah) atau ucapan bela-sungkawa (ta'ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala' dan mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung arti pengagungan (penghormatan) terhadap mereka.

Maka hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini. Sebagaimana haram mengucapkan salam terlebih dahulu atau membuka jalan bagi mereka. Ibnul Qayyim berkata, "Hendaklah berhati-hati jangan sampai ter-jerumus sebagaimana orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha mereka terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, "Semoga Allah membahagiakan kamu dengan agamamu", atau "memberkatimu dalam agamamu", atau berkata, "Semoga Allah memuliakanmu".

Kecuali jika berkata, "Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam", atau yang senada dengan itu. Itu semua tahni'ah dengan perkara-perkara umum. Tetapi jika tahni'ah dengan syi'ar-syi'ar kufur yang khusus milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, "Selamat hari raya Natal" umpamanya atau "Berbahagialah dengan hari raya ini" atau yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman.
Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka kepada salib; bah-kan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau berzina atau yang sebangsanya.
Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada seseorang yang melakukan bid'ah, maksiat atau pun kekufuran maka dia telah menantang murka Allah. Para ulama wira'i (sangat menjauhi yang makruh, apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni'ah kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai hakim, qadhi, dosen atau mufti; demi untuk menghin-dari murka Allah dan laknatNya.

Dari uraian tersebut jelaslah, memberi tahni'ah kepada orang-orang kafir atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni'ah atas hari-hari raya mereka atau syi'ar-syi'ar mereka adalah haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.

A. Dalam bidang bisnis atau pekerjaan
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disem-bunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi." (Ali Imran: 118)

Imam Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan, "Janganlah engkau menjadikan orang-orang non muslim sebagai wali, orang kepercayaan atau orang-orang pilihan, karena mereka tidak segan-segan melakukan apa-apa yang membahayakanmu."

Syaikh Ibnu Taimiyah mengatakan, "Para peneliti telah mengetahui bahwa orang-orang ahli dzimmah dari Yahudi dan Nashrani mengirim berita kepada saudara-saudara seagamanya tentang rahasia-rahasia orang Islam. Di antara bait-bait yang terkenal adalah: "Setiap permusuhan dapat diharapkan kasih sayangnya, kecuali permusuhan orang yang memusuhi karena agama."

Karena itulah mereka dilarang memegang jabatan yang membawahi orang-orang Islam dalam bidang pekerjaan, bahkan mempekerjakan orang Islam yang kemampuannya masih di bawah orang kafir itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi umat Islam dalam agama dan dunia mereka. Sedikit tapi dari yang halal diberkati Allah, sedangkan banyak tapi dari yang haram dimurkai Allah."

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan:
1. Tidak boleh mengangkat orang kafir untuk kedudukan yang membawahi orang-orang Islam, atau yang memungkinkan dia mengetahui rahasia-rahasia umat Islam; misalnya para menteri atau para penasihat, atau juga diangkat menjadi pegawai pemerintahan di daerah negara Islam.

Karena Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "... janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu." (Ali Imran: 118)

2. Diperbolehkan mengupah orang-orang kafir untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan yang tidak menimbulkan suatu bahaya dalam politik negara Islam, umpamanya menjadi guide (penunjuk jalan), pemborong konstruksi bangunan, proyek perbaikan jalan, dan sejenisnya dengan syarat tidak ada orang Islam yang mampu untuk itu.

Karena baginda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dan Abu Bakar Radhiallaahu anhu pernah mengupah seorang laki-laki musyrik dari Bani Ad-Diil sebagai penunjuk jalan ketika berhijrah ke Madinah. (HR. Al-Bukhari)
B. Dalam urusan perang
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Dan yang benar adalah diperbolehkan, apabila diperlukan dalam keadaan darurat, juga bila orang yang dimintai pertolongan dari mereka itu dapat dipercaya dalam masalah jihad.
Ibnul Qayyim berkata tentang manfaat perjanjian Hudaibiyah: "Di antaranya, bahwa meminta bantuan kepada orang musyrik yang dapat dipercaya dalam hal jihad adalah diperbolehkan ketika benar-benar diperlukan, dan pada orang (musyrik) itu juga terdapat maslahah yaitu dia dekat dan mudah untuk bercampur dengan musuh dan dapat mengambil kabar dan rahasia mereka.

Juga diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat, Imam Zuhry meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW meminta pertolongan kepada orang-orang Yahudi dalam perang Khaibar (tahun 7 H), dan Sofwan bin Umaiyah ikut serta dalam perang Hunain padahal ia pada saat itu musyrik.

Termasuk darurat misalnya jumlah orang-orang kafir lebih banyak dan sangat ditakutkan, dengan syarat dia berpandangan baik terhadap kaum muslimin. Adapun jika tidak diperlukan maka tidak diperbolehkan meminta bantuan kepada mereka, karena orang kafir itu sangatlah dimungkinkan berkhianat dan bisa jadi menjadi senjata makan tuan, oleh karena buruknya hati mereka.
Tapi yang tampak dari ucapan Syaikh Ibnu Taimiyah adalah boleh meminta pertolongan kepada mereka secara mutlak.

Related Post



Tidak ada komentar: