Sebagian ulama berpendapat bahwa cadar adalah hukumnya
sunnah. Dengan mengajukan dalil-dalil dari Al-Qur'an Dan As-Sunnah
yang menurut mereka adalah kuat dan akurat. Tapi kalau dilihat secara cermat maka tidaklah kita dapatkan dalil-dalil mereka itu kecuali dho'if dan lemah atau tidak sesuai dengan pembahasan. Oleh karena itu, kami akan paparkan dalil-dalil yang sering mereka gunakaan beserta bantahanya:
yang menurut mereka adalah kuat dan akurat. Tapi kalau dilihat secara cermat maka tidaklah kita dapatkan dalil-dalil mereka itu kecuali dho'if dan lemah atau tidak sesuai dengan pembahasan. Oleh karena itu, kami akan paparkan dalil-dalil yang sering mereka gunakaan beserta bantahanya:
Dalil pertama:
Firman Allah Subuhanahu Wata'ala Dalam Qur'an Surat An-Nur ayat 31:
{وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا...}
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya"
Sa'id bin Manshur, Ibnu Jarir, Abdullah bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan Al-Baihaqi meriwayatkan
dari Ibnu Abbas r.a. mengenai bunyi ayat tersebut dengan "celak, cincin, anting-anting, dan kalung."
Jawaban:
Mereka berdalil dengan ayat tersebut dengan berpacuan pada penafsiran Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu,
maka kami akan mengatakan:
1. Bahwa penafsiran Ibnu Abbas tentang ayat ini adalah sebelum turunnya Q.S Al-ahzab ayat 59, seperti yang
dikatakan Ibnu Taimiyah.
2. Bahwa yang dimaksud dengan zinah yang dilarang untuk ditampakkan adalah seperti yang disebutkan ibnu
katsir dalam tafsirnya ketika menafsirkan Q.S Al-ahzab ayat 59:
}يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا
يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً{
Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu`min, Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ibnu Abbas Berkata terhadap ayat ini: allah subuhanahu
wata'ala memerintahkan wanita-wanita mukminin untuk menutup wajahnya dengan
jilbab dan menyisakan satu mata"[1]
Inilah tafsir
ibnu abbas terhadap aya t ini. Ingatlah,
bahwa perkataan sahabat adalah hujjah. Bahkan sebagian ulama berkata: perkataan
ini adalah disandarkan kepada rasulullah shollaallaahu alaaihi wasallam.
Dan perkataan ibnu abbas: "
Dan menyisakan satu mata". Ini adalah sebagai rukhshoh (keringanan
bagi wanita), agar ia bisa melihat dengan jelas ketika jalan. [2]
3. jika kedua kemungkinan diatas masih mereka tolak maka tidak wajib untuk menerima pendapat sahabat
apabila sahabat lain menyelisihinya. Dan jika mereka berbeda pendapat maka yg kita lakukan adalah mentarjih
salah satu pendapat dari mereka.
Perkataan Ibnu Abbas dalam mentafsirkan Q.S An-Nur ayat 31: {إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا}
bertentangan dengan penafsiran Ibnu Mas’ud ketika beliau mentafsirkan ayat tersebut dengan “Selendang,
pakaian dan apa saja yang biasa Nampak”. Oleh karena itu kita wajib mencari tarjih dari kedua perkataan itu
kemudian beramal dengan yang rojih diantara keduanya.
Dan disini, setelah kita melihat kedua dalil tersebut maka yang rojih adalah bahwa yang dikasud dengan
{إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا} adalah “ kain selendang dan pakaian serta kerudung atau apa saja yang biasa Nampak” .
Bukan wajah dan kedua telapak tangan. Akan tetapi wajah dan kedua telapak tangan adalah termasuk aurat
bagi wanita yang wajib mereka tutup. Dalil bahwasanya ini yang rojih adalah:
1. Perkataan Ibu Abbas dalam mentafsirkan Q.S Al-ahzab ayat 59
2. Perkataan Ibnu Mas’ud ketika beliau mentafsirkan ayat Q.S An-Nur ayat 31
3. Perkataan Ibnu Abbas dalam mentafsirkan Qur'an Surat An-Nur ayat 31 ber-tentangan dengan perkataan
Ibnu Mas’ud ketika mentafsirkan ayat tersebut.
4. Perkataan Ibnu Abbas dalam mentafsirkan Qur'an Surat An-Nur ayat 31 ber-tentangan dengan perkataan
nya ketika mentafsirkan Q.S Al-ahzab ayat 59
Dalil kedua:
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- وَقَالَ « يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ
الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا ». وَأَشَارَ
إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ
دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رضى الله عنها.
Artinya: Dari Aisyah Radiyallahu
'Anha Ia Berkata: sesungguhnya Asma' Binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah
dengan berpakaian tipis, kemudian rasulullah berkata kepadanya: "'Wahai
Asma, apabila wanita telah mengeluarkan darah haid (sudah dewasa), maka tidak
boleh tampak dari tubuhnya selain ini dan ini,' dan beliau berisyarat kepada
wajah dan kedua tangannya”.
Abu daud berkata: ini termasuk mursalnya Khalid, ia
belum pernah melihat dan bertemu dengan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.[3]
Jawaban:
Hadits ini memiliki beberapa kecacatan:
Pertama: dari sisi Khalid Bin Duraik,
Hadits ini sanadnya terputus, oleh karena itu disebut dengan hadits mungqothi’.
Dan hadits mungqothi’ adalah termasuk hadits dho’if yang tidak boleh di amalkan.
Abu hatim juga berkata: haditd ini ma’lul (cacat).
Kedua: Didalam isnadnya juga terdapat
Sa’id Bin Basyir.
Imam Ahmad Bin Hambal Berkata: Dia adalah do’if,
begitupun yang dikatakan oleh Yahya Ibnu Mu’in dan Yahya Ibnu Al-madiny.
Imam Annasa’I berkata: Dia adalah Do’if
Ketiga: sesungguhnya umur Asma’ Binti
Abu Bakar Radhiyallahu Anhuma ketika hijrah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi
wasallam adalah 26 tahun, beliau sudah sangat dewasa. Maka satu hal yang sangat
mustahil seorang Shohabiyah Jalilah[4]
masuk kepada Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wasallam dengan pakaian
yang tipis lagi ketat. Itu termasuk mengurangi akhlaq beliau. Wallahu ‘alam.
Ke empat: sekalipun ini ada yang
mengatakan bahwa hadits shohih maka kita akan memahaminya bahwa ini terjadi
sebelum turunya ayat hijab. Karena nash-nash tentang hijab diambil dari nash
aslinya[5].
Dan nash-nash yang asli tidak mungkin bertentangan dengan yang lainya.
Dalil ke tiga
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ نَفْسِي لَكَ
فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ
النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ فَلَمَّا رَأَتْ
الْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ
Artinya: Dari Sahl
bin Sa'ad bahwa seorang wanita datang kepada Nabi saw. lalu ia berkata,
"Wahai Rasulullah, saya datang hendak memberikan diri saya kepadamu."
Lalu Rasulullah saw. melihatnya, lantas menaikkan pandangannya dan
mengarahkannya terhadapnya, kemudian menundukkan kepalanya. Ketika wanita itu
tahu bahwa Rasulullah saw. tidak berminat kepadanya, maka ia pun duduk. [6]
Jawaban:
Sesungguhnya ini adalah melihat untuk kepentingan menikah, dan ini adalah sesuatu yang di syari’atkan dalam
agama.Itulah yang disebut dengan nadzor ketika khitbah. Melihat langsung sendiri calon istri yang akan dinikahi
atau melalui perantaraan mahram atau wali. Semua itu dibolehkan dalam islam.
Imam bukhari berkata: boleh melihat wanita yang hendak dinikahi. Bahkan dalam shohih bukahrinya beliau
membuat bab khusus: bab melihat kepada wanita (calon istri) sebelum menikah.[7]
Dalil ke empat:
Perintah kepada Laki-laki untuk Menahan Pandangan. Al-Qur'an dan As-Sunnah menyuruh laki-laki menahan
pandangannya:
1. Firman Allah: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangan
nya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat." (Q. S An-Nur: 30)
2. Sabda Nabi saw.: "Jaminlah untukku enam perkara, niscaya aku menjamin untuk kamu surga, yaitu jujur
lah bila kamu berbicara, tunaikanlah jika kamu diamanati, dan tahanlah pandanganmu ...?"
3. "Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah mampu kawin, maka kawinlah, jika belum
mampu maka berpuasalah karena puasa itu lebih dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan..."
(HR al-Jama'ah dari Ibnu Mas'ud)[8]
Kalau seluruh wajah itu harus tertutup dan semua wanita harus memakai cadar, maka apakah arti anjuran
untuk menahan pandangan? Dan apakah yang dapat dilihat oleh mata jika wajah itu tidak terbuka yang
memungkinkan menarik minat dan dapat menimbulkan fitnah? Dan apa artinya bahwa kawin itu dapat lebih
menundukkan pandangan jika mata tidak pernah dapat melihat sesuatu pun dari tubuh wanita?
Jawaban
Semua dalil yang disebutkan mereka diatas adalah shohih. Sungguh tidak
ada kecacatan sedikitpun didalam dalil-dalil itu. Akan tetapi orang-orang yang
berhujjah dengan dalil-dalil itulah yang salah mengghunakannya.
Kita berbicara tentang cadar, bukan masalah memelihara pandangan. Bercadar
adalah wajib seperti halnya wajib bagi laki-laki dan wanita yang beriman untuk
menahan pandanganya. Jika mereka berhujjah seperti diatas maka kami akan katakan:
1. masalah cadar dan menahan pandangan adalah
bukan satu permasalahan, akan tetapi dua permasalahan yang memiliki dalil
masing-masing. Dan kedua-duanya adalah hukumnya wajib.
2. perintah untuk menahan
pandangan bukan hanya untuk laki-laki, akan tetapi juga untuk wanita yang
beriman.
3. perintah menahan pandangan
bagi laki-laki yang beriman adalah agar mereka selamat dari fitnah yang
ditimbulkan oleh wanita, baik itu fitnah dari bentuk tubuh wanita, pakaianya,
atau gerak-gerik jalan wanita, yang
dimana semua itu tidak bisa dinafikan akan menimbulkan fitnah bagi laki-laki.
Oleh karena itu allah memerintahkan agar mereka memelihara pandanganya.
4. Rasulullah Shollallahui
‘alaihi wasallam memerintahkan pemuda yang sudah mencapai derajat untuk harus
menikah tapi ia belum bisa menikah maka hendaknya berpuasa karena itu lebih
menjaga pandangan dan kemaluan. Yaitu pandangan yang menimbulkan hasrat
sehingga jatuh pada perbuatan zina. Karena jika seorang pemuda sudah snagat
ingin menikah maka sangat sulit baginya untuk menahan pandanganya, oleh karena
itu berpuasa akan membantunya dalam menundukkan pandangan dan menjaga
kemaluanya agar tidak jatuh dalam perbuatan zina.
5. memandang wanita yang bukan
mahram akan menjadikan hasrat seorang pemuda naik. Oleh karena itu jika seorang
tidak sengaja memandang wanita maka hendaknya ia segela memalingkan wajhnya, dan
tidak memandangnya lagi. Dan jika seorang suami terfitnah karena memandang
wanita maka hendaknya ia kembali kepada istrinya. Itu semua perinyah Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dalam haditsnya, sebagaimana yang kami paparkan
didalam pembahasan sebelumnya.
Dalil ke lima:
Kalimat kecantikan, menarik hati dan menahan pandangan yang terdapat dalam ayat atau hadits yang berkaitan
dengan masalah ini.
1. Artinya:"Tidak halal bagimu mengawini perempuan- perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula)
mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu..." (al-Ahzab: 52)
Maka dari manakah laki-laki akan tertarik kecantikan wanita kalau tidak ada kemungkinan melihat wajah
yang sudah disepakati merupakan pusat kecantikan wanita?
Jawaban:
Betul bahwa kecantikan itu lebih kepada wajah, akan tetapi itu bukan satu-satunya yang dipandang
oleh laki-laki. Seorang akan berkata, bahwa wanita yang memiliki bentuk tubuh yang ideal itu juga adalah
cantik, dan laki-laki akan tertarik kepadanya.
Kecantikan wanita juga bisa dilihat melalui warna kulit hidung yang Nampak tehadap wanita. Juga
bisa dilihat dari akhlak serta tata cara ketika ia bertutur.
Jadi, Seorang laki-laki akan bisa terfitnah hanya sekedar melihat seorang wanita. Bahkan ketika
sekedar melihat pakaian wanita akan terfitnah. Karena memang wanita ketika keluar rumah akan selalu dihiasi
oleh syetan dari depan dan belakang agar menjadi fitnah bagi laki-laki, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
Bersabda:
Artinya: Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Muslim, dan Abu Daud dari Jabir bahwa Nabi saw. Pernah melihat
seorang wanita lalu beliau tertarik kepadanya, kemudian beliau mendatangi
Zainab - istrinya - yang waktu itu sedang menyamak kulit, kemudian beliau
melepaskan hasratnya, dan beliau bersabda:
"Sesungguhnya wanita itu datang dalam gambaran setan dan pergi
dalam gambaran setan. Maka apabila salah seorang diantara kamu melihat seorang
wanita lantas ia tertarõk kepadanya,
maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena
yang demikian itu dapat menghalangkan hasrat yang ada dalam hatinya
itu." (HR Muslim)
Jadi, muka adalah bukan satu-satunya yang menjadi tolak ukur bagi laki-laki untuk menilai bahwa wanita itu
cantik atau tidak. Bahkan seorang lelaki bisa melihat kecantikan wanita dari akhlaknya. Baik itu melalu berita
dari orang tuanya atau dari orang yang terdekat dengan wanita itu.
Dalil ke enam:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ :
كَانَ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ تَسْتَفْتِيهِ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ
إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الآخَرِ قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِى الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِى شَيْخًا
كَبِيرًا لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَثْبُتَ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟
قَالَ :« نَعَمْ ». وَذَلِكَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ.
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu. Adalah Al-fadhl Ibnu abbas bonceng bersama Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian datanglah seorang wanita dari Khats'am meminta fatwah kepada
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. "Kemudian al-Fadhl melirik wanita itu, dan ternyata dia seorang
wanita yang cantik. Rasulullah saw. lantas memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain. Wanita itu bertanya:
ya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ! sesungguhnya allah telah mewajibkan kepada hambanya untuk
haji dan ayahku telah usia lanjut tidak mampu lagi untuk melakukan perjalanan, bolehkan aku menghajikan
untuknyitu adalah ketika haji wada’a?, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: iya, boleh. "[9]
Jawaban:
Hadits ini tidak menunjukkan bahwa boleh memandang
wajah wanita yang bukan mahram. Karena ketika Al-fadhl memandang wanita itu
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
langsung memalingkan wajah Al-fadhl.
- Imam Nawawi Berkata didalam Syarah Shohih
Muslim: dari faidah hadits ini adalah haram memandang wanita yang bukan
mahram (wanita ajnabiyah)
- Ibnu Hajar Al-asqalani Berkata dalam Fathul
Bary Syarah Shohih Imam Bukhari:
Dari faedah hadits ini adalah dilarang memandang wanita yang bukan
mahram (wanita ajnabiyah), dan hendaknya menjaga pandangan dari mereka.
- ‘Iyadh : sebagian orang mengatakan bahwa memakai
cadar adalah tidak wajib kecuali dalam keadaan fitnah, maka saya akan
mengatakan: bahwa cadar adalah wajib, dalilnya adalah perbuatan Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dalam memalinghkan wajah Al-fadhl tersebut, jika
ada yang bertanya: kenapa Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak
memerintahkan wanita tersebut untuk menutup wajahnya? Maka jawabanya adalah:
a. Bahwa hadits tersebut pada dzohirnya adalah wanita
tersebut dalam keadaan haji, dalam keadaan muhrimah. Dan wanita yang dalam
keadaan muhrimah tidak boleh menutup wajah dan kedua teklapak tangannya.
b. Atau Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam telah
menyuruhnya setelah itu. Tidak adanya penjelasan dari hadits tersebut bukan
berarti Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memerintahkan wanita
tersebut untuk menutup wajahnya didepan laki-laki yang bukan mahramnya. Karena
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam adalah tidak mungkin membiarkan
kemungkaran begitu saja. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang
diriwayatkan muslim dan abu daud:
عن جرير بن عبدالله البجلي رضي الله عنه قال:
سألت رسول الله صلى الله عليه وسلّم، عن نظرة الفجاءة فقال: «اصرف بصرك» أو قال
فأمرني أن أصرف بصري.
Artinya: dari jarir bin Abdullah al-bajaly
radhiyallahu ‘anhu ia berkata: aku bertanya kepada Rasulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam tentang memandang secara tiba-tiba, kemudian beliau menjawab:
palingkan pandanganmu. atau beliau memerintahkan saya untuk memalingkan
pandanganku:.
Untuk orang-orang yang
mengaakan bahwa menutup wajah bagi wanita adalah tidak wajib kecuali ada fitnah
maka kami menjawab bahwa tidak ada dari para sahabat atau dari para tabi’in
yang mengecualikan seperti ini. Jika memang ada, maka zaman kita sekarang
adalah zaman yang penuh dengan fitnah, oleh karena itu bercadar seharusnya
sudah menjadi lebih wajib.
Dalil Ketujuh:
Perintah Mengulurkan Kerudung ke Dada, bukan ke Wajah, Allah berfirman:
"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 Seandainya menutup
muka itu wajib, niscaya dijelaskan dengan tegas oleh ayat itu dengan memerintahkan wanita menutup wajah
nya, sebagaimana dengan tegas ayat itu memerintahkan mereka menutup dadanya.
Jawaban:
1. Telah jelas Allah berfirman: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”. Tidak disebut
kan kecuali muka. Lalu ta’wil dari mana yang mereka ambil sehingga harus menyisakan muka?
2. Satu hal yang mustahil perintah mengulurkan jilbab mulai dari kepala sampai dada kemudian mengecualikan
muka? Ma’adzallah, tidak ada para sahabat atau para ta’bi’in yang memahami ayat ini seperti yang mereka
pahami.
3. jika ada yang berkata: tutuplah kaki sampai pinggulmu, lalu apakah ada yang akan memahami kecuali betis?
Itu adalah pemahaman yang kurang terhadap satu perintah.
Dalil ke-Delapan:
Hadits yang diriwayatkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Saya hadir bersama
Rasulullah saw. pada hari raya (Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah. Kemudian beliau berjalan
hingga tiba di tempat kaum wanita, lantas beliau menasihati dan mengingatkan mereka seraya bersabda:
"Bersedekahlah kamu karena kebanyakan kamu adalah umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah seorang
wanita yang baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu ia bertanya, "Mengapa, wahai
Rasulullah?" Beliau menjawab: "Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan (dengan suami).
" Jabir berkata, “mereka menyedekahkan perhiasan mereka, melemparkan anting-anting dan cincin mereka
ke pakaian Bilal."
Maka, dari manakah Jabir mengetahui bahwa pipi wanita itu hitam kemerah-merahan kalau wajahnya tertutup
dengan cadar?
Jawaban:
1. Disini mengandung kemungkinan bahwa kisah ini terjadi setelah turunya ayat hijab. Karena dalil-dalil yang
menunjukkan wajibnya bercadar adalah sangat kuat dan diriwayatkan secara mutawatir. Seperti yang telah
kami paparkan sebelumnya yaitu dipembahasan dalil-dalil wajibnya bercadar. Maka semua dalil yang
mengisahkan seperti diatas kita akan memahaminya bahwa itu terjadi sebelum turunya ayat hijab. Karena
syari’at allah tidak mungkin bertentangan antara satu sama lain.
2. shalat ‘id disyari’atkan sejak tahun 2 hijriyah, sedangkan ayat hijab turun tahun 5 atau 6 hijriyah. Jadi, kisah
ini mengandung kemungkinan terjadi sebelum turunya ayat hijab. Karena setelah turunya ayat hijab, maka
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam mewajibkan semua istri-istrinya dan semu istrtri serta wanita-wanita
yang beriman untuk memakai cadar. kecuali
3. Didalam hadits tersebut tidak disebutkan apakah wanita itu budak atau merdeka. Karena hanya wanita
budak yang boleh membuka wajahnya. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya tentang
sebab turunya Q.S Al-Ahzab : 59, di dalil pertama tentang wajibnya cadar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar